Sabtu, 27 Juli 2013

Dialog dini hari

Bisa apa selain menangis? Ya, aku yang memang lemah kini hanya bersandar di tempat tidurku sambil menenggelamkan kepalaku kedalam bantal. Perbincangan pagi ini terlalu melewati keberanianku. Entah harus bahagia karena merasa lega atau menangis seperti yang aku lakukan saat ini karena kehilangan. Kehilangan sesuatu yang sekalipun tidak pernah aku miliki.


   "Ini bukan suatu kompetisi, dimana harus ada yang menang dan kalah. Hati juga bukan sesuatu yang harus diperebutkan." Ucapnya sedikit kecewa karena sebuah kalimat yang aku update ke social media sehari sebelumnya. Jadi perlu satu hari untuknya membaca tulisanku dan membahasnya? Gumamku dalam hati ikut kecewa. Padahal aku berharap dia membahas tepat disaat aku menulisnya. Tulisan bahwa aku menyerah menanti setelah melihat dan menyadari lelaki ini terlalu egois untuk memiliki dua hati. Menginginkanku disaat dia masih ingin bersama perempuan lainnya yg juga menantinya.
   "Tapi hati itu juga bukan sesuatu yg harus dibagi-bagi ke beberapa orang dan membuat seorang lainnya menunggu" jawabku.
   "Hanya sampai aku yakin hati ini tidak lagi terbagi, disaat itu ini semua milikmu"
   "Sampai kapan? Sampai aku jenuh? Sampai aku sadar aku hanyalah pilihan terakhirmu? Maaf. Hati ini juga tidak disiapkan untuk menunggu terlalu lama. Tidak setelah beberapa kali menunggu hal yang tidak pernah datang. Kau pikir ini kali pertama permintaanmu?" Aku terdiam sejenak sebelum melanjutkan. "Tidak, bukan hanya kali ini aku menunggu. Dan ini kali terakhirku mengiyakan permintaanmu tempo hari, sebelum aku sadar aku sudah terlalu lelah. Sampai aku sadar bahwa hatimu itu tidak akan pernah hadir dalam hatiku." Ucapanku kini membuatnya terdiam memandangku. Terlalu berani bagiku mengungkapkan semuanya. Biasanya aku akan terbuai dalam untaian kata cinta yang entah hanya rangkaian kata atau tulus pernyataan cinta. Tapi tidak kali ini, setelah aku sadar bahwa laki-laki yang aku cintai, yang saat ini duduk terdiam disampingku, terlalu mencintai perempuan lain yang membuatnya harus memilih.
   "Aku mencintaimu." Katanya pelan dan halus.
   "Aku tau. Kau sudah mengatakannya beberapa kali setiap kau memintaku untuk menunggu. Aku pun begitu. Bahkan terlalu mencintaimu sampai rela tenggelam dalam rasa cemburu tiap kau bersamanya. Namun apa dayaku? Bisa apa aku? Diam lagi. Menunggu lagi. Sampai kau pergi dan aku sendiri. Lalu sekian lama kau hadir lagi. Membawakan sejuta kenangan yang aku sedang coba lupakan. Tapi kau tidak pernah benar-benar hadir, bukan? Hanya singgah dan memberiku berjuta harapan dan pertanyaan. Aku lelah. Disinilah aku berhenti. Aku tidak bisa lagi membiarkanmu berpikir bahwa cinta ini rela menunggu sampai mati. Tidak. Aku pergi. Tidak peduli rasa sakit seperti apa yang akan aku rasakan nanti, setidaknya aku tau itu tidak akan lebih sakit dari rasa sakit karna menunggu sesuatu yang tidak pernah hadir. Entah apa yang aku takutkan selama ini. Aku terlalu takut kehilangan sesuatu yang bahkan tidak pernah sekalipun aku miliki." Kali ini aku tidak kuat menahan air mata yang sudah jatuh membasahi pipi. Aku tidak peduli betapa rendahnya hatiku saat ini. Aku tidak peduli apa yang dia pikirkan saat ini melihatku menangis karna mengungkapkan semua beban dalam hati. Yang pasti aku tidak akan lagi membiarkan berpikir aku masih akan menunggunya. Tidak lagi. Aku memang mencintainya, tapi bukan begini caranya.
  Setelah melihatku makin kacau dengan air mataku, ia mencoba menenangkanku dalam pelukannya. Tenang, namun kejam. Sebuah pelukan hangat yang membuatku hanya akan semakin berharap. Sesaat aku melepaskan pelukan dan menghapus air mataku. Mencoba mengatur kembali suara dan nafasku. Membahas kembali sesuatu yang harus segera diselesaikan.
   "Jadi kita sampai sini?" Katanya sambil menghisap rokok lalu meniupkan asapnya ke udara.
   "Sampai? Berjalan satu langkah pun belum. Karna itu sebelum menapak pada kesalahan ada baiknya kita tidak kemana-mana. Karna kita memang tidak akan pernah bisa kemana-mana, bukan?" Jawabku tenang sambil tersenyum kepadanya. Menahan tetesan air yang siap keluar dari mataku. Dia hanya diam kali ini. Terus memainkan sebatang rokok ditangannya tanpa menoleh kearahku. Yang aku pikirkan saat ini adalah bagaimana jika dia menolak keputusanku dan kembali memaksaku untuk menunggunya dengan segala kata-kata manis yang akan meluluhkan hatiku? Bagaimana jika keberanianku hanya sampai kata-kata yang aku keluarkan tadi? Bagaimana jika aku memang terlalu takut untuk melepasnya?
  Tapi tidak. Kini ia mematikan rokoknya yang bahkan masih bisa diisap beberapa kali lagi, lalu berdiri dan pamit padaku. Pukul 3.30 pagi ternyata. Tidak terasa sejak pukul 2 pagi ia datang kerumahku dengan tiba-tiba tanpa memberitahuku sebelumnya. Aku sempat terkejut dan bingung apa yang harus aku lakukan saat mendapati dirinya didepan rumahku. Tapi kini, setelah melihat punggungnya memasuki mobil dan pergi jauh, ada perasaan lega juga sedih.
  Airmataku berlarian keluar ketika aku mamasuki kamarku dan duduk diatas tempat tidurku. Tidak sepatah katapun yang keluar saat kaca mobilnya tertutup, hanya suara mesin mobil yang siap melaju. Aku menangis. Beginikah rasanya? Sampai sinikah semua penantianku berakhir? Pada kekosongan dan kehampaan semata? Haruskah aku bahagia karna tidak lagi harus menunggu? Atau bersedih karena menyadari kalau aku kini seorang diri? Benar-benar sendiri.


  Aku memandang ponselku ketika aku terbangun siang ini. Tidak ada lagi pesan selamat pagi darinya yang kemarin sempat mengisi ponselku beberapa kali. Jadi dialog dini hari tadi benar-benar terjadi. Dan kini semuanya benar-benar selesai sampai disini. Sebelum kami sempat mencoba berjalan bersama menyusuri hari.
 
Jadi, selamat berpisah lagi, hati.