Rabu, 18 Juli 2012

Why we need someone...



 Pacaran itu bukan prioritas utama buat gua. Kenapa? Karena kita bisa nemuin yang namanya kasih sayang dimana aja, gak cuma dari pacar. Sahabat misalnya. Justru buat gua sahabat itu adalah segala-galanya. Kadang gua malah lebih mentingin ketemu sama sahabat-sahabat gua daripada pacar. Kadang sih, gak selalu.
 Gua selalu marah sama temen gua yang kerjaannya ngeluh mulu karena jomblo lama. Yaelah, kenapa harus ngeluh sih karena gak punya pacar. Lo masih muda gitu, banyakin temen biar kalo lo mati nanti banyak juga yang inget sama lo. Gak punya pacar aja hebohnya kaya kemalingan emas satu peti. Nanti kalo udah punya pacar yang posesif, ngeluh juga karena gak ada waktu buat jalan sama temen-temen. Kan gak semua orang bisa ngebebasin pacarnya buat jalan sendirian. Mereka juga pasti ada rasa takut lah kalo aja lo pada bohong bukan jalan sama temen, tapi malah jalan sama temen mesra. Nah, itu yang bikin sifat posesif mereka keluar (terutama cewek).
  Tapi sekarang kayanya gua kemakan omongan. Setelah ditinggal sama orang tersayang enam bulan lalu untuk selamanya, sekarang gua bener-bener ngerasa sendiri dan kesepian. Punya banyak sahabat gak cukup buat bikin gua gak sendiri. Saat sama mereka gua ngerasa bebas, gak perlu ngerasain yang namanya kesepian. Tapi disaat gak sama mereka, gua lagi-lagi harus kejebak didalam kesendirian. Everyone has their own bussiness, right? Jadi gak setiap hari juga mereka bisa nemenin gua, dan gua gak bisa maksa mereka buat nemenin gua.
 Itulah kenapa gua bilang gua kemakan omongan sendiri. Kayanya sekarang gua udah harus buka hati buat orang lain. Gua butuh seseorang yang bisa nemenin gua setiap hari, ngusir semua kesendirian dalam hidup gua, berbagi banyak cerita, ngabisin waktu berdua. Padahal tadinya gua sempet berfikir buat jomblo seumur hidup karena frustasi, tapi kayanya gak jadi deh. Gua capek sendirian, bahkan kayanya gua udah lupa gimana rasanya diperhatiin sama orang yang spesial (oke, yang ini berlebihan). 
 Gua sempet berfikir buat minta cariin pacar sama temen-temen gua, tapi kayanya gak perlu juga. Gua bukan orang yang gampang suka atau jatuh cinta sama orang baru. Biasanya perasaan akan muncul kalo gua udah ngerasa nyaman banget, dan itu butuh waktu yang lama. Jadi kayanya gua harus nunggu aja. Bukannya Tuhan udah nyiptain pasangan buat kita. Kalo gak sekarang, ya berarti nanti. Just wait and see, I'll find my prince, someday. :-)

Rabu, 11 Juli 2012

Kau dan Dia


Kau...
Kau tau, saat ini aku sedang merasa seorang diri.
Entah apa yang membuatku merasakan hal itu. Semenjak kau pergi meninggalkanku untuk selamanya beberapa waktu lalu, jatungku seolah ikut berhenti berdetak. Nafasku terasa berat. Ingin rasanya aku ikut pergi saat itu juga. Namun apa yang aku fikirkan, jelas sekali itu adalah tindakan bodoh yang hanya dilakukan oleh orang yang putus asa. Tapi saat itu aku memang sedang putus asa. Merasa dikhianati oleh orang yang sangat aku cintai. Kau, ya, itu adalah kau.
Kau pergi begitu saja tanpa sepatah katapun terucap saat aku memandangmu dari pintu Unit Gawat Darurat. Yang kau lakukan hanya diam terbaring dan sesekali bergerak karena merasa kesakitan. Sementara aku hanya terus mengucurkan airmata, tidak kuasa melihat keadaanmu. Saat beberapa suster mendorong tubuhmu yang terbaring diatas ranjang menuju ruangan yang disebut ICU, kecemasanku mulai mereda. Ada harapan yang besar disana. Harapan akan kesembuhan dirimu. Angan-anganku terus melambung tinggi. Membayangkan apa yang akan aku lakukan ketika kau membuka mata esok hari? Apa yang akan aku bawa saat menjengukmu? Dan apa yang akan kau lakukan saat bertemu ‘mereka’?
‘Mereka’ yang selalu mewarnai hari-hari kita dengan pertengkaran kecil dan besar. ‘Mereka’ yang kau ajak ikut masuk kedalam kehidupan kita. ‘Mereka’ yang secara langsung dan tidak langsung punya maksud yang sama, yaitu merebutmu dari pelukanku. Sudahlah, tidak akan menguntungkan jika aku terus membahas ‘mereka’.
Namun seketika kabar itu datang. Kabar yang keluar dari mulut sahabatmu. Kabar yang juga membuyarkan semua lamunanku. Kau pergi. Kau pergi meninggalkanku untuk selamanya. Tidak banyak yang kuingat saat itu. Yang kutau, setelah mendengar kabar itu, aku jatuh pingsan dan hilang kesadaran. Saat kubuka mataku, aku segera menghampiri tubuhmu yang diam kaku tertutupi selimut. Tidak banyak yang dapat aku lakukan. Kecuali menangis. Ya, hanya air mata yang dapat mewakili perasaanku saat itu.

Semenjak itu kesendirian selalu menghantuiku. Aku selalu merasa seorang diri. Kesepian karena kau telah pergi meninggalkanku. Tunggu, kau tidak benar-benar meninggalkanku. Kita tau itu. Kau selalu menemaniku. Tapi kenapa aku masih terus merasa sendiri? Apa karena hatiku merasa sepi tanpa hadirmu? Tidak. Jelas tidak. Kau masih menetap dihati terdalamku. Bukan itu alasanku merasa sendiri. Lalu apa? Apa yang membuatku selalu menitikkan air mata? Apa karena aku tidak lagi dapat menangkap bayanganmu? Hmm, seharusnya aku tidak pernah berfikir seperti itu. Kau selalu disini. Disisiku. Dihatiku. Dianganku. Tapi kenapa kesepian itu selalu menghantuiku?
Entahlah. Yang pasti bukan karena kau pergi meninggalkanku. Karena kau memang tidak pernah melakukan itu.



Dia...
Ya, kau tau jelas siapa dia.
Dia adalah seorang yang selalu menemani hari-hariku­. Dulu. Sama sepertimu.
Dan karena sama sepertimu, dia juga pergi meninggalkanku. Tidak, kau tidak meninggalkanku, dan dia meninggalkanku. Dia pergi menjauh seolah kami tidak saling mengenal. Dia yang kutemui tempo hari, bukan dia yang dulu selalu mendengarkan ceritaku. Dia tidak lagi tertarik dengan kabarku. Setidaknya itu yang ada dibenakku.
Namun ada kesamaan diantara kalian. Kalian tetap tinggal dihatiku walau entah berada dimana. Apa yang aku fikirkan? Tentu saja aku sangat bodoh membiarkan dia masuk juga kedalam hatiku, sama sepertimu. Aku menyesal sekali saat membiarkan dia melakukan sesuatu yang seharusnya tidak terjadi. Saat itu kami hanya saling bertatapan dan berjanji seolah tidak terjadi apa-apa. Dan kami melakukannya.
Dia menghilang. Benar-benar menetapi janji untuk tidak mengingat kejadian tempo hari. Tapi tidak denganku. Memori itu terus menari didalam benakku. Mengganggu hari-hariku. Tidak seharusnya aku membiarkan kenangan buruk itu hadir menghantuiku. Kami telah berjanji. Dan seharusnya kami menepati. Namun apa yang aku lakukan? Aku justru menikmati kenangan itu dengan air mata. Air mata kerinduan akan hadirnya yang selalu menemani hari-hariku.
“hei, apa kabar?” Ingin sekali aku mengucapkan kata itu saat bertemu dengannya. Tapi tidak. Kami bahkan tidak pernah bertemu lagi setelah tempo hari bertemu disuatu tempat dengan suasana canggung. Dia terlihat aneh. Dia bukan lagi dia sahabatku. Dia kini benar-benar telah menjadi orang asing dimataku. Tapi tidak dihatiku.
Hatiku seolah mengharapkan dirinya kembali. Kembali menemani hari-hariku. Kembali menjadi dia yang sahabatku, atau mungkin lebih. Ahh, apa lagi yang kufikirkan? Ya, perasaan ini selalu muncul ketika sedang membayangkan dirinya. Mebayangkan dialah sosok yang akan menggantikan dirimu. Waw         !! aku benar-benar sudah kacau. Bagaimana bisa aku memikirkan hal yang jelas-jelas tidak akan pernah terjadi. Kau dan Dia jelas-jelas berbeda. Kau lah yang kucintai kemarin, hari ini dan seterusnya. Tidak akan pernah ada yang bisa menggantikan posisimu di hatiku yang terdalam. Tidak juga Dia. Dia yang selalu hadir diangan-anganku, akan tetap berada disana. Tidak akan pernah berubah jadi nyata. 

Rabu, 04 Juli 2012

Anak Jalanan



  "Kak, itu apa?"
Aku tersentak mendengar suara itu. Suara anak kecil yang lirih namun bersemangat. Suara yang tidak jauh. Disampingku. Hampir saja aku melepas kamera yang aku gunakan sejak tadi untuk memotret keadaan sekeliling, ketika seorang anak dengan pakaian yang kotor dan berantakan berdiri didekatku. Tangannya yang mungil memegang sebuah gitar kecil dengan beberapa senar yang sudah putus. Aku seketika menjauh, takut jika saja anak itu akan berbuat jahat padaku.

  "Tidak apa-apa."
Kali ini seseorang berbicara dengan nada yang tenang. Tangannya menyentuh pundakku, seakan meyakinkanku bahwa anak ini tidak berbuat jahat. Aku mendapati Jodi berada dibelakangku, tapi sekarang berjalan kecil mendekati anak itu.
  "Namanya siapa dek?" Jodi agak membungkukkan badannya dihadapan anak kecil itu.
  "Ajis!" Jawabnya dengan singkat dan penuh semangat.
Ajis lalu terdiam. Matanya mengarah pada sebuah kamera yang tergantung di leher Jodi. Mata-mata jahat. Mata-mata penuh arti. Seperti seekor macan yang siap menerkam mangsanya.
  "Kamu mau difoto?" Tanya Jodi ketika menyadari sepasang bola mata yang kecil itu terus mengamati sebuah benda yang tergantung dilehernya.

Ajis berteriak memanggil teman-temannya. Tiba-tiba saja muncul anak-anak kecil dengan pakaian yang compang-camping. Ada beberapa anak yang membawa botol minum, tutup botol yang dijadikan satu, dan berbagai barang rongsokan yang mereka sulap menjadi alat musik. Ya, mereka adalah pengamen-pengamen kecil yang sudah bisa berusaha mencari uang sendiri. Atau malah dipaksa untuk mencari uang oleh orangtua mereka.
Aku terpaku melihat anak-anak itu sangat senang ketika Jodi mengambil beberapa gambar mereka. Mereka tertawa lepas sekali. Terlihat jelas senyum-senyum yang terbentuk di bibir mungil mereka. Bukan senyum penuh arti. Tapi senyum yang begitu tulus keluar dari hati. Tiba-tiba saja bola mataku terasa basah. Aku menangis. Menagis penuh haru. aku terus berpikir, bagaimana mereka dapat tersenyum dengan begitu tulusnya. Jodi tidak memberikan mereka permen atau uang. Mengapa mereka terlihat begitu bahagia. Sedangkan keadaan disekitar mereka begitu kumuh. Apakah mereka tidak merasa menderita. Entahlah jika aku yang berada disini. Bermain dengan gitar kecil dipinggir-pinggir jalanan kota besar. Tidur hanya beralaskan kardus. Lingkungan yang bau dan panas. Apa yang mereka makan setiap hari? Bagaimana kalau hujan turun? Atap mereka pun juga terbuat dari kardus. Air mataku terus mengalir melihat mereka seakan melupakan penderitaan yang selama ini mereka rasakan. Sulit sekali menemukan senyum kecil setulus mereka di kota-kota besar. Begitu juga denganku. Jarang sekali aku tersenyum dengan tanpa maksud. Tidak seperti mereka.

  "Kak, kok nangis?" Suara lirih lagi. Kali ini aku melihat seorang gadis kecil berdiri disampingku. Rambutnya yang tipis dikuncir kuda dengan berantakan. Alas kakinya hanya sebelah saja, entah yang satu lagi kemana. Dan tangannya yang mungil memegang tanganku.
  "Kakak gak papa kok." Aku menghapus air mataku dan tersenyum pada gadis kecil itu.
  "Kakak kok diem aja, kesana yuk ikut sama yang lain." Anak itu menarik tanganku dengan begitu semangat. Aku pun mengikutinya dari belakang.


Aku dan Jodi berjalan menuju mobil. Anak-anak kecil itu juga mengantar kami sampai masuk kedalam mobil. Tangan-tangan kecil mereka terus melambai sampai mobil kami berjalan meninggalkan mereka. Aku melihat kembali beberapa foto yang kami ambil tadi. Senyum-senyum itu begitu hidup. Tugasku selesai. Bukan hanya tugas yang aku dapati. Tapi juga pengalaman hidup. Pelajaran tentang kehidupan anak-anak pinggiran jalanan. Dulu mungkin aku akan takut dan menghidar ketika ada pengamen yang berdiri dilampu merah dengan muka mengemis. Namun ketika melihat senyum-senyum tadi, aku tidak akan lagi takut. Tidak akan ada lagi rasa jijik ketika melihat mereka. Tidak akan ada lagi rasa ragu untuk memberikan mereka beberapa recehan dari dalam dompet.
Aku terus tersenyum sepanjang jalan pulang. Jodi yang menyadarinya juga ikut tersenyum melihatku. Ya, kali ini aku tersenyum tanpa arti. Senyum tulus ini muncul karena mereka.

Selasa, 03 Juli 2012

The Mask


Semua mata tertuju pada seorang gadis yang berjalan melewati setiap sudut ruangan. Mawar, cantik namun berduri. Tapi ketika semua orang sudah terbuai oleh kecantikannya, mereka akan lupa dengan duri masih tertancap di tangkainya. Dan Mawar akan lebih mudah membuat mereka terbuai dengan drama-drama yang diciptakannya. Ya, Mawar tidaklah lebih dari seorang pembohong. Mengelabuhi banyak orang dan menyembunyikan jati diri yang sebenarnya dibalik topeng yang selalu ia pasang kemanapun ia pergi.

Kehidupan Mawar sendiri tidak lebih dari pedagang-pedagang dijalanan. Bedanya, pedagang-pedangan itu mendapatkan uang dengan berjualan, sedangkan Mawar hanya perlu memasang topeng kesedihan dan mengelabuhi banyak orang agar merasa iba dan memberikan sejumlah uang. Layaknya pengemis? Ya, sama sekali seperti pengemis. Mawar selalu memberikan janji akan mengembalikan uang yang ia pinjam suatu saat nanti kepada orang-orang yang memberikannya. Namun, suatu saat nanti itu tak kan pernah ada. Ia akan memasang berbagai macam topeng nya ketika seseorang sudah meminta uangnya untuk kembali. Dan mereka akan percaya, atau beberapa orang akan lelah dengan berbagai topengnya.

Mawar yang banyak orang kenal selalu menghambur-hamburkan uangnya, atau mungkin uang orang lain. Dan uang yang selalu ia pinjam bukanlah jumlah uang yang sedikit. Ia selalu berlaga layaknya seorang Puteri Kerajaan. Padahal kehidupan Mawar kurang lebih hanya seperti rakyat biasa yang tinggal di dekat Istana dan memimpikan suatu saat dapat tinggal didalam sana. Sangat menyedihkan. Hanya karena Ia terlalu takut menghadapi kenyataan, Ia selalu menghalalkan segala cara agar dapat terlihat seperti seorang Puteri. Berbagai macam topeng sudah ia siapkan untuk ia pakai disetiap saat. Mungkin Mawar sendiri sudah terbuai didalam topengnya sendiri dan melupakan siapa dirinya yang sebenarnya.

Setiap orang pasti akan merasa jenuh dengan topeng yang mereka pakai suatu saat nanti. Namun sepertinya tidak untuk Mawar. Dengan begitu banyak topeng yang ia ciptakan, ia tidak akan pernah merasa jenuh. Ia sudah mendewa. Dikagumi oleh banyak orang. Tapi ketika sesekali saja ia melepas topengnya, mungkin sudah tidak akan ada lagi yang mengaguminya.

Beberapa orang memang akan melupakan duri yang tertancap ditangkai ketika melihat kuncup bunga mawar yang bermekaran indah. Tapi jika durinya sendiri lebih banyak dibanding kelopak-kelopak bunga itu sendiri, masihkah ada orang yang mengaguminya?